Catatan Mantan Dubes: POLISI AMATIR Permalukan Indonesia di Mata Internasional, Interpol Tolak “Red Notice” Habib Rizieq


Hazairin-Pohan-InterpolAmateurism: Chatting Sesama Warga Negara Tak Masuk Yurisdiksi Interpol

Oleh: Hazairin Pohan
(Wartawan Diplomat, mantan Dubes RI untuk Polandia)

MENCINTAI negeri ini wajib bagi siapa saja yang mengaku warganegara maupun para tamu yang bekerja, tinggal untuk sementara maupun yang berniat akan menetap. Kalau tamu dan penumpang ingin bertahan tentulah mereka berupaya menemukan hal-hal yang membuat mereka dan keluarga betah tinggal di negeri ini.

Jika pada tingkat rakyat dan warganegara itu —di manapun Anda berada di negeri-negeri di belahan bumi ini—kepatuhan terhadap tata kehidupan dan hukum dan kebiasaan itu menjadi keniscayaan, maka tentulah kewajiban ini lebih kental harus melekat bagi penyelenggara negara.

Karena itu saya merasa masygul, sedih, dan pilu mengikuti komunikasi Polri dengan Interpol, badan kerjasama kepolisian internasional yang berpusat di Lyon, Perancis, yang cenderung asal-asalan dan tak tampak profesionalisme sedang dipraktikkan dalam kasus ini.

Bagi saya, berurusan dengan Interpol bukan hal baru, baik dalam status sebagai ketua delegasi RI dalam perundingan-perundingan kerjasama bilateral untuk penanganan terorisme dan berbagai kejahatan terorganisir, maupun ketika menangani agenda item tentang kegiatan Interpol dalam kaitan dengan PBB di New York, serta memiliki kenalan dari kalangan Polri yang bekerja di unit yang menangani kerjasama dengan Interpol.

Apa saja keganjilan yang saya temui (dalam kasus HRS)?

(1) Pertama, penjelasan Polri bahwa permintaan “Red Notice” untuk memberikan status ‘arrest-warrant’ kepada seorang WNI dan kerjasama internasional untuk mendeportasikan kembali Ybs ke tanah air itu tampak tidak profesional, bahkan emosional. Bisakah negeri ini diurus dengan cara-cara seperti ini? Tidakkah kelas komunikasi internasional ini bermutu sangat rendah dan merendahkan institusi negara di mata internasional? Apakah pengembalian request kita untuk “Red Notice” oleh Interpol karena memang Polri kita tidak memahami cara kerja lembaga kepolisian internasional yang tentu sangat ketat dalam pembuatan kriteria tentang tindakan apa yang bisa dikualifikasikan ke dalam kategori kasus-kasus yang ditangani oleh Interpol?

Apakah Polri tidak faham, bahwa masalah politis sangat sensitif, dan Interpol menjauhi tindakan tercela ini (kasus politis -red). Seperti dinyatakan dalam Piagamnya:

“to keep Interpol as politically neutral as possible, its Charter forbids it, at least in theory, from undertaking interventions or activities of a political, military, religious, or racial nature or involving itself in disputes over such matters. Its work focuses primarily on public safety and battling terrorism, crimes against humanity, environmental crime, genocide, war crimes, organized crime, piracy, illicit traffic in works of art, illicit drug production, drug trafficking, weapons smuggling, human trafficking, money laundering, child pornography, white-collar crime, computer crime, intellectual property crime, and corruption.”

[menjaga netralitas Interpol sebaik mungkin, seperti larangan di Piagam, setidaknya dalam teori, dari tindakan intervensi atau kegiatan-kegiatan politik, militer, agama, berunsur rasial atau melibatkan diri sendiri di dalam sengketa perihal ini. Tugas (Interpol) difokuskan utamanya pada keamanan masyarakat dan (dengan yurisdiksi) memerangi terorisme, kejahatan kemanusiaan, kejahatan lingkungan, genosida, kejahatan perang, kejahatan terorganisir, bajak laut, perdagangan tidak sah karya seni, produksi gelap narkotik, perdagangan gelap narkoba, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia, pencucian uang, pornografi anak, kejahatan perbankan, kejahatan komputer, kejahatan dalam hak intelektual, dan korupsi].

Jelas, chatting sesama warganegara tidak termasuk dalam yurisdiksi Interpol. Masa Polri tidak mengerti hal ini? Ini perilaku menurunkan mutu.

(2) Kedua, saga seperti ini bisa disalah-artikan oleh lembaga internasional maupun masyarakat internasional mengenai seperti apa kondisi di negara kita? Ini menghancurkan citra baik negeri ini. Seperti apa perilaku penegak hukum di negeri ini? Apakah Indonesia sudah menjadi Korea Utara, atau bahkan seperti negara-negara otoriter di masa lampau yang menempatkan warganegaranya sebagai obyek pengawasan yang tidak memiliki hak-hak asasi manusia?

Mengapa suatu perbuatan dan prosedur penanganannya —terlepas benar tidaknya terjadi— harus berstandar internasional dengan tolok-ukur internasional dan dengan cara-cara seperti yang diwajibkan oleh Interpol kepada kita selaku anggota kerjasama kepolisian internasional? Ini tidak lain karena selama ini negeri kita memiliki reputasi baik yang menghormati hak asasi manusia, dan tiba-tiba berubah menjadi negeri Gulag yang dikutuk oleh Dr. Zhivago di zaman kebengisan tsar Rusia sebelum kemenangan rejim komunis Bolshevik Rusia di tahun 1917 hanya karena insiden tak bermutu ini?

(3) Ketiga, bagaimana hancurnya di mata internasional tentang mutu pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat yang mengaku telah bereformasi dijamin telah meninggalkan keburukan di masa lampau akan berani tampil dalam pergaulan bangsa-bangsa secara bermartabat? Tidakkah insiden “Red Notice” untuk chatting menggambarkan betapa lemahnya warganegara yang seakan-akan tidak boleh berbeda pandangan dan sikap dengan pemegang kuasa? Chatting tak boleh? Eropa yang liberal dan menjunjung tinggi kehormatan perseorangan tentu tertawa terpingkal-pingkal atau malah ngeri karena mendadak Indonesi menjadi negeri yang sangat otoriter dan konservatif. Jangan-jangan Indonesia telah dikuasai rejim fundamentalis dengan nilai konservatisme yang tinggi. Atau, apakah memang Indonesia kembali ke era otoriter? Di mana kini letaknya kewajiban negara untuk perlindungan dan penghargaan terhadap warganegara seperti tertera di dalam UUD 1045?

(4) Keempat, hancurnya penegakan hukum dengan kecenderungan partisan yang membela kesewenang-wenangan dan menempatkan warganegara sebagai obyek —bukan subyek—bisa menimbulkan pesimisme di kalangan rakyat bahwa negeri ini sedang diurus secara asal-asalan, amatiran.

Bahayanya adalah ketika “self-help mentality” akan kembali menjadi the rule of the day? Bahkan, dengan mengadukan warganegara kepada polisi internasional untuk suatu tindakan remeh-temeh justru mempermalukan kawula negeri ini di mata internasional? Bagaimana dengan jargon: “memberikan perlindungan terbaik negara kepada warganegara yang berada di luar negeri”. Siapa kini yang percaya slogan itu?

(5) Kelima, mengapa profesionalisme dalam penyelenggaraan negara sekarang sudah jauh menurun sampai mencapai titik-nadir seperti kasus “Red Notice” yang tidak membanggakan kita sebagai kawula negeri? Apakah kasus ini menjadi contoh bahwa a sheer of amateurism di kalangan penyelenggara negara sudah sedemikian parah?

Tentu, banyak pertanyaan-pertanyaan yang bisa dilontarkan apabila kita tidak belajar dari tindakan kekonyolan yang malah mempermalukan negeri ini dan para kawulanya karena tidak diselenggarakan sesuai dengan budaya Pancasila maupun kaedah pergaulan bangsa-bangsa secara terhormat.

Jangan biarkan negeri ini diurus secara amatiran dan mempermalukan kawula negeri yang masih terseok-seok mencari makan dengan bekerja rendahan di luar negeri yang memang lemah ketika berhadapan dengan hukum, bahkan hukum dari negeri sendiri.

Jakarta, 15 Juni 2017

*Sumber: telusur.co.id

Mengejutkan! Ini Hasil Analisa Ahli Digital Forensik “Chat HRS-FH”


bcrSebelum nanti ada yang bilang saya asbun/omdo/sok tau, saya tulis dulu profil saya:

– Jurusan S2 saya adalah Digital Forensik, dan saya memiliki sertifikasi internasional di bidang digital forensik dan lainnya.

– Jurusan kami dibawah bimbingan ahli digital forensik mabes Polri, yaitu bapak yang sering jadi saksi ahli pada kasus-kasus besar di tanah air.

– Saya memiliki pengalaman pada beberapa kasus, membantu beberapa rekan untuk mencari/menemukan bukti-bukti digital terkait UU ITE pada tingkat penegak hukum pusat dimana pada saat itu pihak penegak hukum sudah tidak melanjutkan kasus karena tidak bisa menemukan barang bukti, lalu saya bantu akhirnya kasus diangkat kembali.

– Pada beberapa kesampatan kami pernah diceritakan oleh bapak diatas ttg kasus yang menyeret artis-artis Indonesia beberapa tahun silam yang juga mirip dengan kasus ini, yang nanti akan saya bandingkan.

Skip….

FAKTA-FAKTA:

Berikut saya paparkan urutan kejadiannya:
– 02 Des 2016 : FH ditahan (bersama 10 orang dg tuduhan makar)
– 29 Jan 2017 : Muncul web berisi chat FH dan HRS.
– 16 Mei 2017 : FH naik status jadi Tersangka.

Undang-Undang yang bisa diangkat pada kasus ini:

– Pidana, Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu “menyuruh seseorang untuk menjadi model” pasal 8, “Disuruh” Pasal 4 dan 6.

– UU ITE, Undang-undang no 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu terkait “Mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”, Pasal 27 ayat (1).

Aturan tentang penggunaan bukti digital:

– Syarat agar suatu alat dapat dijadikan alat bukti digital adalah alat-alat bukti digital harus memenuhi unsur keterpercayaan, yaitu pada setiap file tidak boleh ada satupun yang “modified date” nya diatas tanggal ketika alat tersebut ditahan oleh petugas.

– Misal Hp FH ditahan pada 2 Des 2016 jam 16.00, maka jika ada satu saja file pada HP nya yang “Modified date” nya diatas tanggal 2 des 2016 pukul 16.00, maka HP tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti karena sudah terkena “data tampering”/pemodifikasian.

– Bukti-bukti digital adalah alat yang sangat fragile/rapuh/mudah termodifikasi, maka harus mengikuti prosedur khusus mulai dari pengangkutan alat bukti, penyimpanan, pengambilan alat bukti, pengekstrakan alat bukti, pembuktian alat bukti dst.

– Jika perlakuan alat-alat bukti dilakukan dengan cara biasa umumnya petugas pada kasus pidana maka alat bukti tersebut tidak sah digunakan pada persidangan.

Fakta-fakta tentang dunia IT:

1. Sangat mudah bagi kami orang-orang IT utk membuat chat WA palsu, semudah mahasiswa kami mengerjakan perkalian 4 digit.

2. Agak sulit untuk membuat audio palsu dengan suara identik meskipun bisa tetapi diperlukan waktu.

3. Relatif mudah bagi kami untuk mengecek apakah suatu foto asli/modifikasi.

4. Chat WA antar seseorang, adalah ranah privat tidak bsa dikenakan hukum kecuali ada aduan, sama seperti kita ngobrol, jika ada yang merekam maka baru bisa masuk pasal penyadapan, jika disebarkan masuk UU ITE (bagi yg menyebarkan).

ANALISA-ANALISA:

1. Pada Kasus ARL dan LM-CT digunakan UU ITE, yang menjadi tersangka dan dihukum adalah pembuat/penyebar yaitu ARL dan RD sedangkan LM-CT bebas karena secara logika ARL dan RD ada andil pada terbitnya barang tersebut sedangkan LM-CT tidak.

2, Pada Kasus FH, posisi FH mirip posisi LM/CT, yaitu sebagai korban/bukan penyebar, maka kemungkinan FH juga tidak akan dihukum meskipun sudah tersangka persis sperti LM/CT.

3. Untuk FH, CT, LM lebih pas jika menggunakan perdata/delik aduan, baru bisa diproses/dihukum setelah ada yang mengadu.

4. Pada kasus FH ini, yang mungkin bisa dihukum adalah penyebar/pembuat yaitu: pembuat website/chat.

5. Foto-foto pribadi di HP adalah private tidak ada hukumnya, sama seperti anda tidak dihukum karena tidak memakai baju ketika mandi. Karena ini masuk ranah pribadi. Baru ada hukum ketika disebarkan.

KESIMPULAN:

1. Kasus chat FH ini kemungkinan adalah gabungan antara foto pribadi yang sifatnya private (foto2 pribadi yg sulit utk ditemukan hukumnya), digabungkan dengan chat yang bisa dibilang meragukan keasliannya.

2. Melihat timeline kejadian, website muncul satu bulan setelah FH dan HP tersangka ditahan, maka jika diberitakan anonymouse lah yang membuat web/menyebarkan chat adalah impossible, karena posisi BARANG BUKTI masih dipegang petugas.

3. Ketika HP tersangka berada pada petugas, maka HP tidak boleh dinyalakan jaringannya karena jika dinyalakan akan merusak keaslian barang bukti/berubah “modified date” nya/tidak layak dijadikan barang bukti lagi.

Jadi urutannya: HP disita dengan prosedur khusus – ditaruh di tempat khusus penghilang jaringan – dilakukan bitstream copy / memorinya dikopi / – selanjutnya yang diutak atik petugas adalah kopian sedangkan HP asli disterilkan sampai proses persidangan membutuhkannya.

4. Berdasakan pada nomer 3, maka tidak mungkin anonymouse melakukan hacking ke HP yang dalam kondisi mati/dibawa petugas.

5. Kemungkinan HRS dalam hal ini adalah PIHAK YANG TIDAK ADA HUBUNGAN SAMA SEKALI dengan kasus FH karena chatnya kemungkinan menurut saya palsu.

6. Membandingkan dengan kasus ARL, CT, LM maka pada kasus FH, FH menurut tebakan saya mungkin tidak akan dihukum, HRS mungkin menurut tebakan saya juga tidak akan dihukum.

7. Satu-satunya pihak yang kmungkinan mnurut saya akan dihukum adalah penyebar dengan pasal UU ITE pasal 27 (1) yaitu si pembuat website dan penyebar foto/chat sekaligus pasal fitnah/perbuatan tidak menyenangkan dan pelanggaran HAM menyebarkan alat bukti diluar persidangan.

8. Asli tidaknya foto FH tidak ada hubungan sama sekali dengan chat.

9. Akan sangat berbahaya bagi petugas untuk melanjutkan kasus ini, karena ujung-ujungnya bisa bumerang, masih ingat kan rentang waktu antara website/chat muncul dan penahanan tersangka? pada waktu website muncul posisi barang bukti masih ada pada petugas.

(Igun, 2017)

Sebarkan, kemenangan harus menang!

sumber : opinibangsa.id