Ketika Pancasila Menjadi ‘Berhala’ Penguasa (Bag 2)


-Catatan ARTAWIJAYA-Pancasila-ketika pancasila menjadi berhala penguasa-1-jpeg.image

Pancasila di era Soeharto yang sangat kental dengan tradisi Jawa kemudian melahirkan banyak Aliran Kepercayaan yang tumbuh dan berkembang pesat.

Program sosialisasi P4 dan Pancasila, bahkan mulai menggunakan media telvisi dan dimasukkan dalam acara “Mimbar Kepercayaan” di TVRI yang sarat dengan ajaran Kejawen. Hal ini tentu saja makin menambah keras penolakan dari umat Islam terhadap program pemerintah tersebut.

Soeharto yang merasa khawatir Pancasila akan digantikan dengan ideologi lain, terutama Islam, yang saat itu dilihat sebagai kekuatan yang bisa menyaingi pemerintah, kemudian melakukan langkah-langkah pengamanan, baik melalui RUU Paket politik maupun lewat pernyataan-pernyataan yang bernada mengancam. Birokrasi dan ABRI juga terus ditekan untuk setia pada Pancasila.

Pada 27 Maret 1980, dalam sebuah Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, Riau, Soeharto menyampaikan amanat tambahan yang menyinggung soal proses penyusunan RUU Partai Politik dan Golongan Karya.

Dalam pidato tanpa teks itu, Soeharto menyatakan bahwa masih adanya asas pokok dan asas ciri, menunjukkan masih ada partai politik yang belum sepenuhnya percaya kepada Pancasila sebagai satu ideologi. Hal ini, kata Soeharto, merupakan bukti bahwa mereka masih ragu-ragu dengan Pancasila.

Soeharto kemudian meminta ABRI sebagai kekuatan penjaga Pancasila untuk hati-hati dalam memilih kawan, karena masih ada golongan yang belum sepenuhnya menerima Pancasila.

Sebulan kemudian, 16 April 1980, Soeharto kembali menegaskan isi pidatonya di hadapan seluruh anggota dan pimpinan ABRI dalam upacara hari ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta Timur.

Pidato di Jakarta tak berbeda dengan di Pekanbaru yang intinya menyebut masih ada pihak-pihak yang meragukan Pancasila.

Soeharto juga secara tidak langsung menuding partai yang walk out dalam sidang mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai partai yang meragukan Pancasila.

“…dari perkembangan pembentukan Undang-Undang Kepartaian dan Golongan Karya, sampai kepada pelaksanaan Sidang Umum MPR masih membuktikan pula keragu-raguan daripada Pancasila, terutama proses dari Ketetapan MPR No 2 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sampai kepada walk out,” kata Soeharto.

Soeharto yang melihat ada sedikit perubahan dalam tubuh ABRI menegaskan kembali betapa ABRI harus tetap mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dengan nada mengancam kepada anggota dewan, Soeharto mengatakan, lebih baik ia dan tentara menculik satu orang dari 2/3 yang menginginkan perubahan, karena, menurut Soeharto, 2/3 dikurangi satu sudah tidak sah dan bertentangan dengan UUD 1945.

Penculikan lebih baik digunakan, ketimbang menggunakan senjata dalam menghadapi kelompok yang ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945. Pidato Soeharto dalam dua kesempatan itu memicu reaksi luas masyarakat.

Mereka yang khawatir akan dampak pidato Soeharto kemudian membuat Pernyataan Keprihatinan pada 5 Mei 1980, yang ditandatangani oleh lima puluh tokoh, terdiri dari sembilan Jenderal, purnawirawan ABRI dari empat angkatan, para mantan perdana menteri, mantan menteri, anggota parlemen, tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh dari kalangan agama, mahasiswa dan cendekiawan.

“Pernyataan Keprihatinan” yang terkenal dengan sebutan “Petisi 50” itu kemudian disampaikan kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi pada 13 Mei 1980.

Di antara tokoh penandatangan Petisi 50 adalah Dr M Natsir, Jenderal AH Nasution, Mr Sjafruddin Prawiranegara, Jenderal (Pol) Hoegeng, Letjend HR Dharsono, Letjend Kemal Idris, Letjend (Mar) Ali Sadikin (Ketua Pokja Petisi), dan lainnya. Semua tokoh yang disebutkan ini sudah meninggal.

Reaksi di kalangan ABRI muncul dari Gubernur Lemhanas, Letjen Sutopo Yuwono, yang langsung menemui Jenderal M Yusuf dan menanyakan apakah dua pidato Soeharto itu mencerminkan sikap ABRI.

Jenderal Jusuf kemudian membantah dan menyatakan pidato presiden tersebut tidak mewakili pikiran ABRI. Reaksi juga datang dari tokoh senior ABRI, Jenderal A.H Nasution, yang ikut menandatangani Petisi 50.

Petisi 50 melihat Soeharto menyalahtafsirkan Pancasila sehingga ideologi tersebut dipergunakan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik. Padahal, Pancasila harusnya menjadi pemersatu bangsa.

Selain itu, pernyataan Soeharto menurut Petisi 50 juga telah menjerumuskan ABRI untuk memihak, yaitu tidak berdiri di atas semua golongan. Kawan dan lawan ABRI dalam konteks ini ditentukan oleh pihak yang sedang berkuasa.

Soeharto, berusaha ‘mengamankan Pancasila’ dalam kaitannya dengan kepentingan kekuasaan menjelang pemilu 1982. [2] Petisi 50 berujung pada kemarahan Soeharto yang kemudian mencekal para penandatangan pernyataan tersebut. Mereka yang terlibat dalam Petisi 50 juga disuruh meminta maaf kepada Soeharto oleh Pangkopkamtib Sudomo.

Kekhawatiran terhadap pidato Soeharto menjadi kenyataan, setelah pada 16 Agustus 1982, secara terbuka dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Pleno DPR Soeharto mengatakan:

“…Jumlah dan struktur partai politik seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya kiranya sudah memadai, terbukti dari hasil dua kali pemilihan umum yang diikuti oleh ketiga kontestan. Yang perlu dibulatkan dan ditegaskan adalah asas yang dianut oleh setiap partai politik dan Golongan Karya. Semua kekuatan sosial-politik, terutama partai politik yang masih menggunakan asas lain selain Pancasila, seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya asas yang digunakan adalah Pancasila.”

Enam Jenderal yang melawan rezim Soeharto-jpeg.image

Enam Jenderal yang melawan Rezim Soeharto: AH Nasution, Hoegeng, HR Dharsono (atas), dan (bawah): Kemal Idris, Ali Sadikin, M Yasin

Soeharto juga mengatakan, asas tunggal Pancasila bisa mengatasi kerawanan yang menghantui timbulnya perpecahan dan kekacauan dengan kekerasan. Jika menggunakan asas lain, maka akan mudah merangsang fanatisme kelompok yang sempit, yang dapat dimanfaatkan oleh golongan ekstrem yang sulit dikendalikan.

Ucapan Soeharto, jelas ditujukan kepada kelompok Islam. (Bersambung)

Tinggalkan komentar